WARNA KEGELAPAN (Colour of Darkness – Cerita Pendek karya James Purdy)

WARNA KEGELAPAN

(Colour of Darkness – Oleh James Purdy

Terkadang ia memikirkan istrinya, namun hal itu mulai terlambat, biasanya setelah anak laki‑lakinya pergi ke kamar tidur, sesuatu yang seharusnya mengerikan namun nyatanya tidak, ia sekarang ini tak bisa lagi mengingat seperti apa istrinya. Suatu hal yang pasti tak dapat diingatnya adalah warna mata wanita itu. Tapi justru itulah yang paling menggoda di benaknya. Dan yang juga paling tidak dapat ia sampaikan kepada siapapun.

Tentu saja di kota itu ada orang yang mestinya ingat seperti apa warna mata istrinya. Tetapi berangsur‑angsur ia pun mulai lupa bentuk wajahnya. Yang tertinggal dalam kenangannya hanya suara wanita itu, suara yang hangat menyenangkan hati.

Kemudian ada anak laki‑laki mereka, Baxter, tentu­nya. Dengan hal‑hal yang diketahui dan tidak diketahuinya. Terkadang Baxter seperti tahu segala hal. Ketika bocah itu berpegangan pada pinggiran kursi memandang ke ayahnya, mengamatinya dengan sungguh‑sungguh. Tampak seolah‑olah bocah itu tidak begitu dekat dengan ayahnya. Sang ayah merasa bahwa Baxter mungkin tahu segala sesuatu.

“Bax…,” sang ayah akan berkata dan menatap dalam‑dalam ke mata anaknya. Bocah itu benar‑benar mirip dengan ayahnya. Tak ada tanda‑tanda di wajahnya tentang sesuatu dari ibunya.

“Kau akan cepat besar,” kata sang ayah pada malam itu, tanpa pernah disadarinya sendiri mengapa ia berkata begitu. Ucapan itu terlontar begitu saja tanpa dipikirkan­nya.

“Kukira tidak,” jawab anaknya.”Mengapa tidak?” Sang ayah terheran‑heran, terkejut oleh jawaban anaknya seperti terkejutnya oleh pertanyaannya sendiri. Si bocah juga memikirkan apa yang akan dikatakannya.

“Berapa lama?” tanyanya.

“Oh, masih lama,” jawab ayahnya.

“Bolehkah aku tetap tinggal dengan Papa?” tanya si bocah menyelidik.

Sang ayah mengangguk. “Tentu saja, Sayang,” sahut­nya.

Anak itu berkata Oh dan berlari mengitari kamar. Lalu ia jatuh menimpa salah satu mainannya dan menangis.

Bu Zilke masuk ke dalam kamar dan mendiamkannya dengan kata‑kata yang menghibur. Sang ayah bangkit dan menggendong si bocah. Kemudian ia duduk lagi dan meletak­kan anaknya dalam pangkuan. Wajahnya memerah karena mengerahkan tenaga tadi. Ia berkata kepada Bu Zilke, “Anda lihat, saya sudah tua.”

Bu Zilke tertawa. “Jika Anda tua, saya sudah mati,” sahutnya. “Anda harus menjaga kemudaan Anda,” lanjutnya dengan suara agak serak kepada sang ayah setelah berhenti sesaat.

Sang ayah memandang wanita tua itu. Baxter tiba‑tiba menggeliat di dalam dekapan ayahnya. Ia mengamati sang ayah dengan penuh rasa ingin tahu. Kemudian diciumnya wajah ayahnya.

“Dia masih muda,” katanya kepada Bu Zilke.

“Memang. Tentu saja papamu masih muda,” sahut Bu Zilke.

Sang ayah tertawa dan Baxter beranjak pergi ke kamar tidurnya dengan Bu Zilke.

Sang ayah memikirkan kata‑kata Bu Zilke dan ia memperhatikan kata‑kata itu sebagaimana saat ini ketika men­dengar wanita tua itu sedang membacakan cerita untuk anaknya dari sebuah buku dongeng. Baginya cerita yang dibacakan wanita tua itu sangat membosankan, dan ia berpi­kir anaknya tidak akan memperoleh sesuatu yang mengesankan dari cerita itu.

Ia tahu, sungguh aneh kalau ia tidak dapat mengingat warna mata istrinya. Ia merasa yakin masih mengingatnya, dan mungkin  secara tak sadar ia mencoba melupakannya. Kemudian ia mulai berpikir bahwa ia juga tidak dapat mengingat warna mata anaknya. Padahal ia baru saja meli­hatnya!

“Apa yang diketahuinya?” Sang ayah bertanya kepada Bu Zilke ketika ia sudah turun dari tangga dan duduk sejenak membaca koran. Bu Zilke menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya sebelum menjawab. Sementara sang ayah melihat ke luar jendela seolah‑olah ia sudah lupa kehadiran wanita tua itu dan pertanyaannya sendiri barusan tadi.

“Ia tahu segalanya,” jawab Bu Zilke.

Sang ayah tersadar dan memandang wanita tua itu dengan ramah. “Memang mereka begitu sekarang, ya kan?” kata sang ayah, maksudnya adalah anak‑anak.

“Tampaknya memang demikian,” wanita tua itu membe­narkan. “Ya,” lanjutnya sambil berpikir. “Mereka tahu semuanya.”

“Saya menganggap semua orang yang saya jumpai beru­sia empat puluh tahun,” kata sang ayah. “Bahkan juga terhadap anak‑anak, mungkin. Namun mereka benar‑benar menjadi misteri bagi saya. Saya tidak tahu bagaimana berbicara dengan mereka. Agaknya saya tak paham jalan pikiran mereka.”

“Oh, saya maklum. Saya membesarkan delapan anak dan dulupun saya juga berpikiran seperti itu,” kata Bu Zilke.

“Yaah, paling tidak saya jadi terhibur mendengar itu,” kata sang ayah.

Wanita tua itu tersenyum. Tetapi sang ayah merasa dalam senyumnya ada sesuatu yang masih tersisa dalam benaknya yang tidak diungkapkannya.

“Memang kita tidak mengetahui orang lain, ya kan?” katanya kepada Bu Zilke, ia ragu.

Wanita tua itu mengangguk, menikmati rokoknya. “Putera Anda kesepian,” katanya tiba‑tiba.

Sang ayah mengalihkan pandangannya dari wanita tua itu.

“Maksudnya kasihan sekali karena ia seorang anak tunggal,” lanjutnya.

“Bukankah ia punya teman di sekitar sini. Saya pikir….”

“O, itu tidak sama,” potong Bu Zilke. “Bermain dengan anak‑anak lain seperti pada hari Sabtu dan sebagai­nya itu tidak cukup.”

“Saya selalu disibukkan oleh pekerjaan.”

“Anda memang sibuk.”

“Yaa, bagaimana lagi?” Sang ayah tertawa. “Saya seorang yang sukses.”

Bu Zilke tidak ikut tertawa. Sang ayah memperhatikan wanita tua yang sangat giat itu. Ia mengaguminya. Ia senang wanita tua itu tidak ikut tertawa bersamanya.

“Seharusnya tak seorangpun cuma punya seorang anak,” kata wanita tua itu kepadanya.

“Anda tahu,” kata sang ayah dengan gaya yang meya­kinkan, “ketika kita sedang disibukkan pekerjaan, seperti yang saya alami ini, orang‑orang akan menyingkir dari kita.”

Sang ayah memandang botol brandy di rak.

“Bersediakah Anda minum satu sloki brandy dengan saya, Bu Zilke?”

Wanita tua itu akan berkata tidak karena ia betul‑betul tidak menyukainya, tetapi ia melihat sesuatu di wajah laki‑laki muda itu. Ia mengangguk agak segan lalu sang ayah bangkit dan menuangkan dua sloki brandy.

“Terima kasih bersedia menemani saya minum,” tiba‑tiba sang ayah berkata, seperti untuk menghapus bersih sesuatu yang berada di antara kata‑kata dan kenangannya.

“Harum sekali,” kata Bu Zilke sambil meneguk perla­han.

“Anda pandai sekali,” puji sang ayah.

“Saya tahu tentang aroma,” tanggap wanita tua itu dingin.

“O, bukan saja  soal aroma. Tapi juga hal‑hal lain­nya.”

“Ah, saya tidak tahu apa‑apa,” Bu Zilke merendah.

“Anda tahu semua hal,” lanjut sang ayah, “sedangkan saya cuma punya pekerjaan saya.”

“Itu cukup. Mereka membutuhkan Anda.”

Sang ayah duduk, tapi ia tidak menyentuh brandy‑nya lagi. Sementara Bu Zilke setelah membaui brandy‑nya ia juga menurunkan gelas kecilnya. Mereka berdua duduk dalam kebisuan seakan‑akan berada di tengah orang banyak.

“Saya tidak dapat mengingat warna mata istri saya,” kata laki‑laki muda itu. Dan ia kelihatan sakit.

Bu Zilke duduk sambil mempertimbangkan apakah yang dibicarakan pria itu cukup penting atau lebih baik meng­ganti topik pembicaraan mereka.

“Dan malam ini mungkin Anda tidak akan percaya, saya bahkan tak dapat mengingat warna mata anak saya!”

“Matanya biru seperti laut,” Bu Zilke berkata agak ketus tetapi dengan nada kesedihan yang dalam.

“Tetapi ada apa dengan masalah sepele itu,” lanjut wanita tua itu. “Anda adalah orang penting.”

Sang ayah tertawa sangat keras atas perkara ini. Dan Bu Zilke tiba‑tiba ikut tertawa juga. Sang ayah mengangkat gelasnya lalu mengucapkan kata‑kata murahan sementara Bu Zilke juga mengambil gelasnya dengan pandangan sedikit terganggu dan minum berteguk‑teguk.

“Saya dapat merasakan rasa anggur di dalamnya, kan,” katanya.

“Memang, inilah anggurnya karenanya tentu saya beli,” diulanginya dengan nada yang mungkin biasa diucap­kannya di bar kaum pria.

“Anda tidak perlu mempedulikan apa warna mata mereka sekarang atau dulu,” kata Bu Zilke.

“Ya, itulah ingatan saya tentang orang‑orang,” katanya kepada wanita tua itu. “Saya tidak mengenal mereka dengan baik.”

“Memang demikian,” sahut Bu Zilke. “Tetapi Anda punya hal‑hal lain.”

“Tidak, sungguh. Bukan begitu. Saya dapat mengingat orang‑orang kalau saya mau.”

“Jika Anda mau,” ulang Bu Zilke.

“Baiklah, mengapa saya tidak dapat mengingat mata istri saya,” ia menumpahkan uneg‑unegnya. “Dapatkah Anda mengingat,” tanyanya ingin tahu, “warna mata anggota keluarga Anda.”

“Semuanya ada empat puluh dua mata,” wanita tua itu tertawa.

“Ya, ya … suami Anda, putera dan puteri Anda.”

“O, saya kira saya dapat,” wanita tua itu mencoba mengelak.

“Tetapi Anda bisa Bu Zilke, Anda bisa.”

“Benar, tetapi saya hanya seorang perempuan yang hanya melulu di rumah. Sedangkan Anda di luar melihat dunia. Mengapa Anda harus menghiraukan warna mata manusia? Aduh, kasihan sekali!” Wanita tua itu meletakkan gelasnya lalu mengambil beberapa kaos kaki yang telah dijahitnya sebelum mengantar Baxter ke ranjangnya tadi.

“Saya akan ngobrol sambil menjahit,” katanya mene­gaskan seolah ia akan sedikit bicara sekarang dan mungkin tidak akan minum brandy lagi. Sang ayah tiba‑tiba menutup matanya rapat‑rapat. Laki‑laki muda itu menyadari bahwa ia tidak tahu warna mata Bu Zilke. Namun tiba‑tiba ia tidak cemas lagi. Ia tidak peduli. Dan ia yakin Bu Zilke pun tidak akan peduli, apakah ia tahu atau tidak. Tadi wanita tua itu mengatakan padanya untuk tidak menghiraukan. Baginya yang lebih penting adalah ia masih mengingat wanita tua itu. Ia ingat kebaikan wanita tua itu kepadanya dan kepada anaknya. Dan betapa pentingnya mereka berdua bagi wanita tua itu.

“Berapa umur Papa?” Baxter bertanya kepada ayahnya yang sedang duduk di kursi besarnya dengan minumannya.

“Dua puluh delapan,” jawabnya tidak jelas.

“Apakah itu cukup tua untuk mati?” anak laki‑laki itu menyelidik.

“Ya dan tidak,” jawab sang ayah.

“Apakah aku cukup tua untuk mati?”

“Papa rasa tidak,” sang ayah menjawab pelan, semen­tara pikirannya di tempat lain.

“Mengapa kita tidak mati?” Tanya bocah itu sambil menerbangkan kapal terbang kertas yang baru dibikinnya. Kemudian ia mengambil burung mainan yang dibuatnya dari kertas coklat dan melemparkannya ke udara. Burung‑burungan itu menabrak tanaman philodendron dan tersangkut di sana seperti dilakukan dengan sengaja.

“Papa selalu memikirkan sesuatu yang lain, ya kan?” kata Baxter. Bocah itu naik ke tempat ayahnya duduk dan memandang wajahnya. “Matamu biru,” kata sang ayah. “Biru seperti laut.”

Baxter tiba‑tiba mencium ayahnya, sedangkan sang ayah memandanginya lama‑lama.

“Jangan pandangi aku begitu,” kata si bocah malu.

“Begitu bagaimana?” tanya sang ayah dan menurunkan pandangannya. Si bocah beringsut dengan kikuk, menyeret sepatu kecilnya di atas karpet.

“Seperti Papa tidak tahu sedikitpun,” kata bocah itu dan ia lari ke dapur mencari Bu Zilke.

Setelah Bu Zilke pergi ke kamar tidurnya, kira‑kira hampir empat jam setelah Baxter lelap, sang ayah biasa duduk di lantai bawah memikirkan masalah dalam pekerjaan­nya, tetapi ketika ia ada di rumah seperti ini ia sering memikirkan tentang dia, istrinya dulu. Istrinya ‘lari’, itulah istilah yang dipakainya untuk menyebut kepergian wanita itu sejak dulu. Dan pernikahannya dengannya demiki­an singkat hingga seolah‑olah Baxter adalah pemberian orang. Istrinya menghadiahinya, dan menjadi pemberian yang bertambah nilai dan tanggung jawabnya, hubungannya dengan peristiwa itu semakin bimbang dan samar. Akan tetapi Bu Zilke tampak lebih nyata baginya daripada orang lain, siapapun. Meski ia tidak dapat mengingat warna matanya juga, namun ia sangat nyata. Wanita tua itu sudah diang­gapnya ibunya sendiri. Sedangkan Baxter adalah seorang adik laki‑laki kecil yang tidak begitu dikenalnya dengan baik tapi suka menanyakan hal‑hal yang sulit. Di lain pihak istrinya yang ‘lari’ itu, hanyalah seorang wanita yang seakan pernah pergi dengannya. Dan kini ia tidak dapat lagi mengingatnya sama sekali.

Ia iri melihat cara Bu Zilke mengatur segala sesua­tu. Seolah‑olah wanita tua itu memahami hal‑hal yang diurusnya. Ia dapat mengenal dan mengingat  semua hal yang dilihatnya dan di bawah wewenangnya. Dunia ini bagi wanita tua itu adalah bundar, kokoh dan diterangi dengan sempur­na.

Sedangkan menurutnya hanya pekerjaannya yang memi­liki arti nyata. Dan ia ingat Bu Zilke menyebutnya orang penting. Tetapi apalah artinya pekerjaan terhadap sesuatu yang lain.

Ketika malam itu ia naik ke atas menengok anaknya, ia terperanjat melihat Baxter sedang tidur dengan boneka buaya raksasa. Mata boneka itu agak mengagetkannya. Untuk beberapa saat ia ragu apakah harus memindahkan boneka itu atau tidak. Tapi kemudian diputuskannya untuk tidak meng­ganggunya. Kemudian ia pergi ke kamarnya sendiri. Melepas­kan semua pakaiannya dan berdiri telanjang menghirup udara segar di depan jendela terbuka. Lalu ia cepat‑cepat naik ke ranjang.

“Itu boneka kesayangannya,” kata Bu Zilke ketika sarapan pagi. “Baxter tidak mau berpisah dengannya bagai­manapun juga,” lanjutnya menjelaskan.

“Saya rasa boneka itu akan menyebabkannya bermimpi buruk,” kata sang ayah.

“Ia tidak pernah mengalami mimpi buruk,” bantah Bu Zilke sambil mengoleskan mentega di atas roti bakar. “Ini untuk Anda, Pak,” kata wanita tua itu menyodorkan sarapan paginya.

Sang ayah terdiam sejenak.

“Saya terperanjat ketika melihat boneka buaya di ranjangnya itu,” katanya lagi kepada Bu Zilke.

“Yaah, itu hanya perasaan Anda saja,” sahut Bu Zilke.

“Saya rasa demikian. Tapi kenapa bukan boneka anak beruang atau boneka anak perempuan saja.”

“Baxter juga sudah punya. Kebetulan tadi malam ia bersama boneka buaya itu,” kata Bu Zilke menerangkan sambil sibuk di dapur.

“Baiklah,” kata sang ayah, lalu ia membuka lembaran koran dan mulai membaca tentang Mesir.

“Putera Anda memerlukan seekor anjing,” kata Bu Zilke tiba‑tiba tanpa peringatan. Ia masuk dan duduk di meja dengan sang ayah. Di tangannya masih terlihat bekas‑bekas air sabun.

“Yang seperti apa?” tanya sang ayah.

“Anda tidak menolaknya nanti?” tanya Bu Zilke.

“Mengapa saya menolak anjing?” lanjutnya sambil melihat koran.

“Ia harus memiliki sesuatu,” kata Bu Zilke menerus­kan.

“Tentu,” sahut sang ayah sambil meneguk kopi kemudian memandang wanita tua itu. “Maksud Anda sekarang ini Baxter tidak punya apa‑apa?”

“Selama orang tua masih hidup, siapa pun orang tua, seorang anak biasanya memiliki sesuatu. Maksud saya bukan tentang anjing,” jawab Bu Zilke tanpa maksud membela diri dan sang ayah berharap memang tidak begitu.

“Saya lebih suka ia tidur dengan anjing daripada buaya itu.”

“O, begitu?” desak Bu Zilke dengan gusar.

Kemudian sang ayah berkata, “Baiklah.”

Ia tetap menunduk ketika Bu Zilke pergi meninggalkan ruangan. Ia duduk memandangi cincin kawin yang masih dipakainya. Tiba‑tiba dilepaskannya cincin itu dari jari­nya untuk yang pertama kalinya sejak dipasangkan di sana oleh perintah pendeta. Ia sengaja membiarkan cincin itu di jarinya selama bertahun‑tahun dengan alasan yang sederha­na, memang. Ia ingin orang menganggapnya menikah, dan entah bagaimana ia harus menikah, bagaimanapun caranya, ia tahu itu. Tetapi ia tinggalkan cincin kawinnya di atas meja lalu ia pergi ke ruang depan.

“Pak…,” Bu Zilke memanggil dan mengejarnya.

“Biarkan cincin itu di sana,” katanya menyangka wanita tua itu menemukan cincinnya.

Tetapi di wajah Bu Zilke ia melihat sesuatu yang lain. “Anda harus mengantar Baxter membeli anjing. Anda kan tahu saya tak dapat lagi berjalan di atas trotoar yang keras.”

“Pokoknya beres, Bu Zilke,” sahutnya sekedar menang­gapi apa yang dikatakan wanita tua itu.

Anjing yang mereka beli di toko adalah seekor anak anjing geladak dengan ekor panjangnya yang lucu. Sang ayah menatapnya dari dekat: mata coklat. Hampir yang pertama kali dilakukan anjing itu adalah kencing di dekat meja kerjanya. Sang ayah menyuruh membersihkannya. Dan Baxter hanya menonton ketika Bu Zilke bersungut‑sungut sendirian di dapur. Kemudian wanita tua itu masuk dan menaburkan suatu bubuk putih di atasnya.

Anjing itu juga memandang mereka dari tempatnya di pojok ruangan. Tapi tampaknya binatang itu tidak ingin menghampiri mereka. Baxter memandangnya, tapi tidak mela‑kukan apa‑apa.

“Dekatilah,” kata ayahnya. Baxter berjalan ke pojok ruangan dan menatap anjing kecilnya.

Sementara sang ayah duduk dan mulai meneruskan korannya.

“Apakah Papa juga pernah punya anjing?” tanya Bax­ter.

Sang ayah berpikir di tempatnya. Ia terdiam dalam waktu yang lama.

“Pernah,” akhirnya ia menjawab.

“Apa warnanya?” Sang ayah memutar kursinya. “Sudah sangat lama dulu,” jawabnya seolah‑olah mengutip dari dirinya sendiri.

“Apakah abu‑abu?” desak Baxter ingin tahu.

Ayahnya mengangguk.

“Seekor anjing abu‑abu,” ulang Baxter dan ia mulai bermain dengan peliharaan barunya. Anak anjing itu mengangkat cakarnya yang basah dan memukul Baxter pelan. Bocah itu menjerit kecil.

“Anjing itu sedang senang,” kata ayahnya sambil lalu.

Baxter menangis kecil dan berlari ke dapur. Sedang­kan anjing kecil itu tetap berada di tempatnya.

“Sekarang jangan takut lagi dengan teman kecilmu itu,” kata Bu Zilke. “Kembalilah dan ajak dia bermain lagi.”

Baxter keluar dari dapur dan menghampiri anjingnya.

“Beri dia nama,” saran Bu Zilke.

“Apakah aku harus memberinya nama, Papa?” tanya bocah itu.

Sang ayah mengangguk.

Setelah makan malam mereka bertiga duduk di ruang depan. Baxter agak mengantuk. Sang ayah duduk di kursi malas sambil menghisap pipa rokoknya dengan segelas brandy di dekatnya. Mereka berkumpul di sana untuk mencarikan nama bagi anjing itu. Tetapi tampaknya belum seorangpun yang mendapat gagasan. Sementara sang ayah tak peduli terhadap mereka. Ia tenggelam dalam kenikmatan merokok dengan pipa mahalnya. Seakan‑akan ia sudah di ibu kota lagi dan jauh terpisah dengan mereka.

Baxter terkantuk‑kantuk beberapa kali lagi dan Bu Zilke berkata, “Hey, belum waktunya tidur. Tapi kenapa laki‑laki kecil ini sudah mengantuk.”

Terdengar jeritan anjing kecil itu dari gudang bawah di mana mereka menempatkannya. Tapi mereka pura‑pura tak mendengarnya.

Akhirnya Bu Zilke berkata, “Kalau ia sudah jinak nanti kamu bisa tidur dengannya, Baxter.”

Baxter membuka matanya dan memandang wanita tua itu. “Apa maksudnya?” tanyanya.

“Bila ia sudah pandai mengurus dirinya sendiri, tidak lagi buang kotoran sembarangan, kamu dapat mengajak­nya ke tempat tidur.”

“Tidak mau!” sahut si bocah.

Bu Zilke menatap sang ayah sambil menahan perasaan­nya. “Kenapa tidak mau, Sayang?” tanya wanita tua itu tanpa menunjukkan emosi.

“Aku tidak ingin,” kata Baxter.

Bu Zilke kembali menatap sang ayah. Tapi laki‑laki muda itu bahkan lebih tidak menghiraukan mereka lagi.

“Apa yang di mulutmu itu?” kata Bu Zilke tiba‑tiba memancing perhatian. Ia membetulkan letak kaca matanya dan melihat ke mulut si bocah.

“Ini,” bocah itu menunjuk bibirnya yang agak meme‑ rah. “Permen karet,” ia berkata.

“Oh,” kata Bu Zilke.

Jam berdentang menunjukkan pukul delapan.

“Saya kira sekarang waktu tidurmu,” kata Bu Zilke.

Ia memandang si bocah.

“Kamu mau ke tempat tidur, Baxter?” tanyanya samar‑samar.

Bocah itu menunduk.

“Cium Papa dan ucapkan selamat malam padanya,” perintahnya sepintas lalu.

Baxter bangkit dan menghampiri ayahnya, tapi lang­kahnya terhenti di depan lingkaran asap rokok.

“Selamat malam,” katanya dengan suara aneh. “Apa itu di mulutmu?” Sang ayah menunjukkan perha­tiannya kepada Bu Zilke dan kepalanya keluar dari gumpalan asap rokok.

Bu Zilke bangkit dengan susah payah dan mengganti kaca matanya untuk mengamati si bocah.

“Apa yang kamu kulum itu?” tanya Bu Zilke dan kedua orang dewasa itu memandang kepadanya.

Baxter melihat mereka seolah‑olah telah memasang jaring di sekitar dirinya. Dari perasaan tidak peduli yang lama terpendam terhadap dua orang ini tiba‑tiba muncul perasaan aneh secara perlahan dalam kebingungannya, pelan‑pelan perasaan itu menggerakkan pikirannya. Ia bergerak selangkah ke belakang seakan‑akan ingin memancing perha­tian mereka.

“Baxter sayang…,” bujuk Bu Zilke dan mereka berdua memandangnya seolah‑olah mereka baru mengenali siapa anak itu.

“Apa yang ada di mulutmu itu, nak?” tanya sang ayah. Dan kata ‘nak’ terdengar aneh berkumandang. Diterima oleh Baxter dengan rasa berat dan dorongan rasa jijik. Sejijik melihat kencing anjing kecil itu tadi sore.

“Apa itu, nak?” ulang sang ayah. Bu Zilke memandang­nya. Ada kesan khawatir tersirat di wajah tuanya yang merah terhadap bocah itu.

“Aku sedang mengunyah permen karet,” jawab Baxter kepada mereka.

“Tidak, Baxter. Kenapa kamu tidak mau mengatakannya kepada kami?” keluh Bu Zilke.

Baxter berjalan ke pojok ruangan di mana anak anjing tadi berada.

“Anjing itu nakal, ya?” Baxter tertawa terkekeh‑kekeh. Dan tiba‑tiba ia tertawa lebih keras lagi ketika diingatnya apa yang telah dilakukan anak anjing itu. Sementara Bu Zilke dan ayahnya sedang berbisik‑bisik di tengah asap rokok.

Baxter duduk di lantai sambil berbicara dengan dirinya sendiri dan bermain dengan potongan boneka rusak. Dari mulutnya masih terdengar samar‑samar suara seperti logam.

Kemudian perlahan‑lahan Bu Zilke menghampirinya. Terbayang keprihatinan dan kebaikan hati di wajahnya, seperti seorang perawat terlatih.

“Kamu tidak bisa tidur dengan benda itu di mulutmu, manis.”

“Ini cuma permen karet,” kata Baxter.

Kaki Bu Zilke yang sudah lemah tak dapat lagi berlu­tut di atas lantai di sisi Baxter sebagaimana yang ingin dilakukannya. Wanita tua itu ingin berbicara empat mata dengan si bocah, sebagaimana ia biasa duduk di tepi ran­jangnya. Namun sayangnya ia hanya bisa berdiri di samping Baxter. Begitu jauh terpisah. Napas pendeknya yang berat terdengar menjijikkan di kamar itu. Ia hanya mampu berka­ta, “Kamu tidak pernah berbohong kepadaku selama ini, Baxter.”

“Memang tidak,” sahut Baxter. “Ini cuma permen karet,” dan ia kembali membuat bunyi di mulutnya.

“Akan kulaporkan pada papamu,” ancam wanita tua itu seakan‑akan sang ayah sudah jauh di Washington.

“Permen karet,” ulang Baxter dengan nada jenuh.

“Kukira seperti logam,” gumam Bu Zilke sambil meman­dang penuh kecemasan kepada Baxter.

“Ini cuma permen karet,” bocah itu sekarang berse­nandung dan bermain dengan boneka.

“Anda harus mengajaknya bicara,” Bu Zilke menyaran­kan sang ayah. Laki‑laki muda itu kemudian berjongkok bersama anaknya. Sementara Baxter sedikit demi sedikit menyadari bahwa ini adalah untuk yang pertama kalinya ayahnya pernah membuat gerak bermain dengannya. Ia menatap ayahnya, tetapi tidak mendengarkan apa yang dibicarakan­nya.

“Jika Papa masukkan jari Papa di mulutmu, maukah kau memberikannya pada Papa?” tanya sang ayah.

“Tidak,” jawab Baxter.

“Kamu tidak boleh menelan benda di mulutmu itu,” kata sang ayah.

“Mengapa?” tanya si bocah menyelidik.

“Benda itu akan melukaimu,” kata sang ayah menerang­kan.

“Kamu akan dibawa ke rumah sakit,” sambung Bu Zilke.

“Aku tidak peduli kemana aku pergi,” kata si bocah.”Di mulutku ini hanya sebuah mainan.”

“Mainan apa?” tanya ayahnya menyelidik. Ia dan Bu Zilke tiba‑tiba tertarik dan penasaran terhadap benda di mulut Baxter itu.

“Mainan berwarna keemasan,” si bocah tertawa, tetapi kedua bola matanya berkaca‑kaca dan memancarkan sorot aneh.

“Kemarikan, Sayang,” kata sang ayah sambil secara perlahan mencoba meletakkan jarinya di mulut Baxter.

“Jangan sentuh aku!” tiba‑tiba si bocah berteriak. “Aku benci Papa!”

Sang ayah mundur perlahan seolah ia kini akan kemba­li ke pekerjaan dan kertas‑kertasnya lagi. Bu Zilke ber­teriak, “Memalukan!”

“Aku betul‑betul benci dia,” kata si bocah. “Dia tak pernah ada di sini.”

“Baxter,” bujuk sang ayah.

“Berikan pada papamu benda di mulutmu itu atau kamu akan menelannya dan terjadi bencana pada dirimu.” “Biarin!” sahutnya ketus, menantang. Lalu ia melem­parkan bonekanya pada Bu Zilke.

“Sekarang lihatlah kemari, Baxter,” kata sang ayah, tetapi dengan wajah mengantuk dan tanpa ekspresi.

“Tutup mulutmu, brengsek!” tiba‑tiba si bocah memaki ayahnya. Sang ayah secepat kilat menangkap dagu dan rahang Baxter kemudian memaksanya memuntahkan apa yang ada di mulutnya.

Cincin kawinnya jatuh menggelinding di karpet. Mereka semua memandang ke cincin itu.

Namun tiba‑tiba tanpa peringatan Baxter menendang ayahnya dengan sangat keras pada kunci paha lalu berlari ke tangga atas. Ia berhenti pada tempat yang aman di anak tangga dan mengucapkan kata‑kata kotor kepada ayahnya seakan kata‑kata itu sudah lama terpendam untuk dilontar­kannya.

Bu Zilke menjerit kecil.

Sang ayah menggeliat kesakitan di tempat di mana Baxter tadi menendangnya. Setelah berjuang keras ia beru­paya berkata, “Katakan padaku di mana ia tahu kata‑kata seperti itu?”

Bu Zilke berjalan ke tempat cincin itu tergeletak di dekat boneka.

“Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi pada anak itu,” katanya sambil meletakkan cincin tadi di atas meja.

Kemudian kelelahan menjalar pada suaranya lalu ia berkata, “Apakah Anda terluka, Pak?”

Air mata menetes dari kedua mata sang ayah karena perasaannya tertusuk. Beberapa saat ia tak mampu mengucap­kan sepatah katapun.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya wanita tua itu lagi.

“Tidak, terima kasih,” jawabnya. “Terima kasih,” dadanya bergemuruh karena rasa sakit luar biasa.

“Saya letakkan cincin Anda di atas sini biar aman,” kata Bu Zilke memberitahu.

Sang ayah mengangguk dari lantai di mana ia keseleo di lukanya.

 

JAMES PURDY lahir di Ohio pada tahun 1923 dan mempe­roleh pendidikannya di Midwest. Ia memperoleh MA dari Universitas Chicago dan setelah itu ia melanjutkan studi­nya di Universitas Madrid, Spanyol. Sebuah koleksi cerpen­nya Color of Darkness yang dipublikasikan pada tahun 1957 mendapat perhatian dari para kritikus sastra. Novel perta­ma Purdy, Malcolm (1959), memperoleh sambutan yang luar biasa sebagai sebuah komentar satire atas nilai‑nilai kultur masyarakat urban Amerika. Judul asli cerita ini adalah Color of Darkness yang diambil dari buku Short Story: A Thematic Anthology hal 149‑158. Alih Bahasa Syafruddin HASANI.